Saturday, February 28, 2009

Mencari Buddha

Seorang bhiksu pertapa demi mencari Buddha yang berada di dalam hatinya berkelana ke sana-sini, sudah banyak sekali penderitaan yang dialaminya di dunia ini, tetapi dia tetap belum bisa mendapatkan Buddha yang berada dalam hatinya. Suatu malam hari yang gelap gulita, bhiksu pertapa setelah berjalan jauh mencari Buddha, tibalah di suatu desa yang sepi dan terpencil.

Di jalanan yang gelap gulita, penduduk desa dengan diam-diam berlalu lalang. Waktu bhiksu pertapa berputar melewati sebuah gang, dari kejauhan dia melihat ada satu lingkaran cahaya lampu yang mendekat ke arahnya. Dia mendengar ada salah satu penduduk desa berkata, "Si buta sudah datang kemari." Si bhiksu sangat terkejut mendengarkannya, lalu bertanya pada penduduk desa itu: "Yang memikul lampion dengan tongkat itu apakah betul seorang tunanetra?"

"Dia memang seorang tunanetra." Orang itu dengan pasti memberitahunya. Bhiksu pertapa bagaimanapun tidak habis pikir. Seorang tunanetra yang tidak bisa melihat, konsep siang dan malam sedikitpun tidak ada, membawa lampu tapi dia sendiri tidak melihat jalan, bahkan tidak tahu sinar lampu itu berupa apa, ia memikul sebuah lampion, apakah tidak membuat orang bingung dan merasa lucu? Lampion itu makin mendekat, lingkaran cahaya lampu dari gang yang jauh perlahan-lahan sampai di depan bhiksu.
Bhiksu yang masih bingung dan tak habis pikir itu, tidak dapat menahan diri lantas bertanya, "Maaf, sebelumnya, saya mau bertanya penderma apakah benar seorang tuna netra?" Si tunanetra yang memikul lampion itu menjawabnya, "Benar, sejak memasuki dunia ini, sepasang mata saya selalu dalam keadaan kekacaubalauan."

Bhiksu bertanya, "Jika apapun tidak kelihatan, mengapa anda membawa sebuah lampion?" Si tunanetra berkata, "Apakah sekarang malam hari? Saya dengar tidak ada penerangan pada malam hari, jadi orang-orang menjadi buta seperti saya, maka itu saya menyalakan sebuah lampion".
Seperti ada yang disadari oleh bhiksu lalu berkata: "Jadi anda memberi penyinaran untuk orang lain?" Tapi si tunanetra malah menjawab, "Tidak, ini demi saya sendiri." “Demi anda sendiri?” Si bhiksu sekali lagi melongo.

Si tunanetra balik bertanya pada bhiksu dengan nada rendah, "Apakah Anda pernah, karena malam hari gelap gulita ditabrak oleh orang lain?"
Bhiksu itu bilang, "Iya, ini adalah hal yang sering terjadi. Seperti tadi, ditabrak oleh dua orang yang kurang hati-hati." Si tunanetra mendengar, lalu bangga dengan dirinya dan berkata: "Tapi saya tidak pernah. Meskipun saya tunanetra, tapi dengan membawa lampion ini, orang lain melihat saya, dengan begitu mereka tidak akan karena gelap tidak lantas menabrak saya."

Mendengar hal itu, Bhiksu pertapa sadar. Dia menengadah ke langit menghembuskan nafas panjang-panjang sambil berkata, "Saya dari ujung langit sampai ke penjuru laut mencari Buddha, tidak disangka Buddha sudah berada di dalam diriku, sifat kebuddhaan manusia bagaikan sebuah lampu, asalkan saya menyalakannya, meskipun saya tidak melihat Buddha, tapi Buddha tetap melihat saya. Memang benar, setiap orang yang baik budi mempunyai kewajiban menyalakan lampu kehidupan yang dimilikinya, selain menerangi orang lain, lebih-lebih telah menerangi diri sendiri.”
Di saat seseorang memberi toleransi dan cinta kepada orang lain, bersamaan itu dia juga bisa mendapatkan toleransi dan cinta.

No comments:

Post a Comment