Saturday, February 28, 2009

Gunakan Pinjaman Mu

Bayangkan ada sebuah bank yang memberi anda pinjaman uang sejumlah Rp.86.400,- setiap paginya. Semua uang itu harus anda gunakan. Pada malam hari, bank akan menghapus sisa uang yang tidak anda gunakan selama sehari. Coba tebak, apa yang akan anda lakukan? Tentu saja, menghabiskan semua uang pinjaman itu.

Setiap dari kita memiliki bank semacam itu; bernama WAKTU. Setiap pagi, ia akan memberi anda 86.400 detik. Pada malam harinya ia akan menghapus sisa waktu yang tidak anda gunakan untuk tujuan baik. Karena ia tidak memberikan sisa waktunya pada anda. Ia juga tidak memberikan waktu tambahan. Setiap hari ia akan membuka satu rekening baru untuk anda. Setiap malam ia akan menghanguskan yang tersisa. Jika anda tidak menggunakannya maka kerugian akan menimpa anda. Anda tidak bisa menariknya kembali. Juga, anda tidak bisa meminta "uang muka" untuk keesokan hari. Anda harus hidup di dalam simpanan hari ini. Maka dari itu, investasikanlah untuk kesehatan, kebahagiaan dan kesuksesan anda. Jam terus berdetak. Gunakan waktu anda sebaik-baiknya.

Agar tahu pentingnya waktu SETAHUN, tanyakan pada murid yang gagal kelas.
Agar tahu pentingnya waktu SEBULAN, tanyakan pada ibu yang melahirkan bayi prematur.
Agar tahu pentingnya waktu SEMINGGU, tanyakan pada editor majalah mingguan.
Agar tahu pentingnya waktu SEJAM, tanyakan pada kekasih yang menunggu untuk bertemu.
Agar tahu pentingnya waktu SEMENIT, tanyakan pada orang yang ketinggalan pesawat terbang.
Agar tahu pentingnya waktu SEDETIK, tanyakan pada orang yang baru saja terhindar dari kecelakaan.
Agar tahu pentingnya waktu SEMILIDETIK, tanyakan pada peraih medali perak Olimpiade.


Hargailah setiap waktu yang anda miliki. Dan ingatlah waktu tidaklah menunggu siapa-siapa.

Bisa Mati Kapan Saja

Seorang pria mendatangi Sang Guru, "Guru, saya sudah bosan hidup. Sudah jenuh betul. Rumah tangga saya berantakan. Usaha saya kacau. Apa pun yang saya lakukan selalu berantakan. Saya ingin mati saja. "Sang Guru tersenyum, "Oh,kamu sakit." "Tidak Guru, saya tidak sakit. Saya sehat. Hanya jenuh dengan kehidupan. Itu sebabnya saya ingin mati."

Seolah-olah tidak mendengar pembelaannya, Sang Guru meneruskan, "Kamu sakit. Dan penyakitmu itu dinamakan Alergi Hidup."
Banyak sekali di antara kita yang alergi terhadap kehidupan. Kemudian, tanpa disadari kita melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma kehidupan. Sungai kehidupan ini mengalir terus, tetapi kita menginginkan status-quo. Kita berhenti di tempat, kita tidak ikut mengalir. Itu sebabnya kita jatuh sakit. Kita mengundang penyakit. Resistensi kita,penolakan kita untuk ikut mengalir bersama kehidupan membuat kita sakit.Yang namanya usaha, pasti ada pasang-surutnya. Dalam hal berumah tangga,bentrokan-bentrokan kecil itu lumrah. Persahabatan pun tidak selalu langgeng. Apa sih yang langgeng, yang abadi dalam hidup ini? Kita tidak menyadari sifat kehidupan. Kita ingin mempertahankan suatu keadaan. Kemudian kita gagal, kecewa, dan menderita.
"Penyakitmu itu bisa disembuhkan, asal kamu ingin sembuh dan bersedia mengikuti petunjukku," kata Sang Guru. "Tidak Guru, tidak! Saya sudah betul-betul bosan. Saya tidak ingin hidup," pria itu menolak tawaran sang guru."Jadi kamu tidak ingin sembuh. Kamu betul-betul ingin mati?" "Ya,memang saya sudah bosan hidup." "Baiklah, kalau begitu maumu. Ambillah botol obat ini. Setengah botol diminum malam ini, setengah botol lagi besok petang. Besok malam kau akan mati dengan tenang."

Giliran pria itu jadi bingung. Setiap guru yang ia datangi selama ini selalu berupaya untuk memberikannya semangat hidup. Yang satu ini aneh. Ia malah menawarkan racun. Tetapi karena ia memang sudah betul-betul jemu, ia menerimanya dengan senang hati. Sesampai di rumah, ia langsung menenggak setengah botol "obat" dari Sang Guru. Dan... ia merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya... Begitu santai! Tinggal 1 malam, 1 hari, dan ia akan mati. Ia akan terbebaskan dari segala macam masalah. Malam itu, ia memutuskan untuk makan malam bersama keluarga di restoran Jepang. Sesuatu yang sudah tidak pernah ia lakukan selama beberapa tahun terakhir.
Pikir-pikir malam terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sambil makan, ia bersenda gurau. Suasananya santai banget. Sebelum tidur, ia mencium istrinya dan berbisik, "Sayang, aku mencintaimu." Esoknya bangun tidur, ia membuka jendela kamar dan melihat ke luar. Tiupan angin pagi menyegarkan tubuhnya dan ia tergerak untuk melakukan jalan pagi. Pulang ke rumah setengah jam kemudian, ia melihat istrinya masih tertidur. Tanpa membangunkannya, ia masuk dapur dan membuat 2 cangkir kopi. Satu untuk dirinya, satu lagi untuk istrinya. Karena pagi itu adalah pagi terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis. Sang istri pun merasa aneh sekali. Selama ini, mungkin aku salah, "Maafkan aku, sayang."

Di kantor, ia menyapa setiap orang. Stafnya pun bingung, "Hari ini, Boss kita kok aneh ya?" Dan sikap mereka pun langsung berubah. Mereka menjadi lembut. Karena siang itu adalah siang terakhir, ia ingin meninggalkan kenangan manis! Tiba-tiba, segala sesuatu di sekitarnya berubah. Ia menjadi ramah dan lebih toleran, bahkan apresiatif terhadap perbedaan pendapat. Tiba-tiba hidup menjadi indah. Ia mulai menikmatinya. Pulang ke rumah petang itu, ia menemukan istri tercinta menungguinya di beranda. Kali ini justru sang istri yang memberikan ciuman kepadanya,"Sayang, sekali lagi aku minta maaf, kalau selama ini aku selalu merepotkan kamu." Anak-anak pun tidak ingin ketinggalan, "Pa, maafkan kami semua. Selama ini Papa selalu stress karena perilaku kami."

Tiba-tiba, sungai kehidupannya mengalir kembali. Seketika hidup menjadi sangat indah. Ia mengurungkan niatnya untuk bunuh diri. Tetapi bagaimana dengan setengah botol yang sudah ia minum? Ia mendatangi Sang Guru lagi. Melihat wajah pria itu, Sang Guru langsung mengetahui apa yang telah terjadi, "Buang saja botol itu. Isinya air biasa kok. Kau sudah sembuh! Jika kau hidup saat ini, jika kau hidup dengan kesadaran bahwa engkau bisa mati kapan saja, maka kau akan menikmati setiap detik kehidupan. Hilangkan egomu, keangkuhanmu. Jadilah lembut, selembut air, dan mengalirlah bersama sungai kehidupan. Kau tidak akan bosan. Kau akan merasa hidup. Itulah rahasia kehidupan. Itulah jalan menuju ketenangan. Itulah kunci kebahagiaan."

Pria itu mengucapkan terima kasih, lalu pulang untuk mengulangi pengalaman sehari terakhirnya. Ia terus mengalir. Kini ia selalu hidup dengan kesadaran bahwa ia bisa mati kapan saja. Itulah sebabnya, ia selalu tenang, selalu bahagia!
Kita semua SUDAH TAHU bahwa kita BISA MATI KAPAN SAJA. Tapi masalahnya: apakah kita SELALU SADAR bahwa kita BISA MATI KAPAN SAJA? Nah!

Honesty is the best policy

If you plant honesty, you will reap trust
If you plant goodness, you will reap friends
If you plant humility, you will reap greatness
If you plant perseverance, you will reap victory
If you plant consideration, you will reap harmony
If you plant hard work, you will reap success
If you plant forgiveness, you will reap reconciliation
If you plant patience, you will reap improvements
But
If you plant dishonesty, you will reap distrust.
If you plant selfishness, you will reap loneliness
If you plant pride, you will reap destruction
If you plant envy, you will reap trouble
If you plant laziness, you will reap stagnation.
If you plant bitterness, you will reap isolation
If you plant greed, you will reap loss
If you plant gossip, you will reap enemies
If you plant worries, you will reap wrinkles

So be careful what you plant now, it will determine what you will reap tomorrow. Yes, someday, you will enjoy the fruits, or you will pay for the choices you plant today.

Benih Kejujuran

Seorang Raja merasa telah tiba waktunya untuk memilih penggantinya. Alih-alih memilih anaknya, Raja malah memutuskan untuk melakukan sesuatu diluar tradisi kerajaan. Dia memerintahkan seluruh pemuda di kerajaan berkumpul, kemudian mengumumkan sebuah sayembara. "Sudah tiba waktunya bagiku untuk turun tahta dan mencari pengganti. Aku memutuskan untuk memilih satu diantara kalian sebagai penggantiku."

Seluruh pemuda yang hadir saat itu sangat terkejut. Raja melanjutkan, "Hari ini aku akan memberikan kepada kalian masing-masing sebuah benih. Benih ini sangat special. Aku minta kalian menanam dan memelihara benih ini sebaik-baiknya. Satu tahun dari sekarang aku minta kalian berkumpul kembali dengan membawa tanaman yang berasal dari benih yang kuberikan ini. Dari tanaman itulah aku akan memberikan penilaian untuk memilih siapa yang pantas menjadi penggantiku!"

Seorang pemuda bernama Ling yang hadir saat itu, seperti yang lainnya, juga menerima sebuah benih. Setibanya di rumah, dengan gembira dia menceritakan apa yang dia dengar hari itu kepada ibunya. Sang ibu membantunya mencari sebuah pot dan mencari tanah yang cukup baik untuk menanam benih special tersebut. Ling menanam benih itu dan merawatnya dengan penuh perhatian. Setiap hari dia menyiram benih dan melihat apakah benih itu telah tumbuh.

Tiga minggu berikutnya, beberapa pemuda di desa Ling mulai membicarakan benih yang mereka tanam, yang saat itu telah mulai tumbuh menjadi tanaman. Ling yang dengan cermat mengamati dan merawat benihnya, tidak melihat apapun muncul dari dalam tanah, tiga minggu, empat minggu, lima minggupun berlalu, tetapi, benih yang ditanamnya tetap saja tidak tumbuh menjadi tanaman.

Sekarang, seluruh pemuda di desa yang mendapat benih dari raja, masing-masing sudah membicarakan tanaman mereka, tetapi Ling tidak, dia merasa gagal. Enam bulan berlalu, tapi benih di dalam pot milik Ling masih saja tidak menunjukkan tanda-tanda akan tumbuh menjadi tanaman. Ling berpikir mungkin dia telah membuat benih tersebut busuk dan tidak dapat tumbuh. Ketika semua teman-temannya membicarakan tanaman yang saat itu telah tumbuh menjadi pohon yang tinggi, Ling hanya bisa diam dan berharap agar benihnya bisa tumbuh.

Setahun berlalu. Kini tiba saatnya bagi seluruh pemuda di kerajaan tersebut untuk berkumpul kembali di istana sambil membawa tanaman mereka. Ling berkata kepada ibunya, dia tidak mau ke istana membawa pot kosong. Ibunya dengan sabar menasehatinya untuk tetap pergi walaupun dengan membawa benih yang tidak dapat tumbuh. Ling merasa sangat takut dan malu, tetapi dia tahu bahwa apa yang dikatakan ibunya benar. Dia harus belajar untuk berani menghadapi kenyataan dan bertanggungjawab. Maka berangkatlah Ling ke istana raja dengan membawa pot tersebut.

Setibanya di istana, Ling merasa sangat takjub dan kagum melihat aneka macam pohon yang tumbuh di pot milik teman-temannya. Pohon-pohon itu semuanya sangat indah, baik bentuk maupun ukurannya. Ling meletakkan potnya di lantai. Beberapa orang disekitarnya segera tertawa melihat pot miliknya yang kosong, ada juga yang merasa kasihan kepadanya.

Raja tiba di balairung istana dan segera berkeliling melihat pohon-pohon dan memberikan komentarnya setiap dia melihat pohon yang mengagumkan. “Benar-benar pohon-pohon yang cantik dan luar biasa. Hari ini salah seorang dari kalian akan terpilih sebagai raja, menggantikan diriku!" Tiba-tiba, Raja melihat Ling yang berdiri di barisan paling belakang dengan potnya yang tanpa tanaman. Dia memerintahkan petugas kerajaan untuk membawa Ling dan potnya ke depan. Ling sangat ketakutan. "Raja tahu aku telah gagal. Mungkin dia akan menjatuhkan hukuman!" Ketika tiba dihadapan Raja, Ling segera berlutut. Raja bertanya siapa namanya. "Nama saya Ling," jawabnya. Seluruh pemuda yang hadir di balairung istana mentertawakannya.

Raja memerintahkan semua diam. Dia menatap Ling, dan mengucapkan sesuatu kepada seluruh yang hadir di balairung istana saat itu, "Tunduk dan hormatilah Raja kalian yang baru, Raja Ling!" Ling tidak dapat mempercayai pendengarannya, bagaimana mungkin dia bisa terpilih, dia bahkan tidak melihat ada tanaman tumbuh dari benih yang ditanamnya.
“Setahun lalu, di ruang ini aku memberikan kalian masing-masing sebuah benih. Aku meminta kalian untuk menanam, merawat dan memelihara benih itu, hingga tiba saatnya bagi kalian untuk membawa kembali hasil jerih payah kalians selama setahun kembali ke istana ini. Tapi sesungguhnya benih yang kuberikan itu adalah benih yang tidak dapat tumbuh, walaupun kalian telah merawatnya sebaik mungkin. Kalian semua, kecuali Ling, datang membawa pohon dan tanaman, bahkan bunga-bunga. Ketika kalian mendapati benih yang kalian tanam tidak tumbuh, kalian segera menggantikannya dengan benih lain.

Hanya Ling yang memiliki keberanian serta kejujuran untuk datang kemari hari ini membawa dengan membawa benih yang sampai saat ini masih berada dalam potnya. Maka dialah yang layak menjadi Raja!"

Lihat Kebunku, Penuh Dengan Bunga...

Bercocok tanam adalah cara memenuhi kerinduan saya akan penyatuan dengan alam, cara yang mudah dan murah, ketimbang harus mengeluarkan biaya perjalanan untuk mencari pegunungan hijau atau pantai yang airnya masih jernih. Meskipun hanya punya lahan sempit, mengamati pertumbuhan tanaman, menyaksikan bagaimana sebutir biji kecil dapat bertumbuh menjadi tanaman besar, sungguh sangat mengasyikkan. Terlebih lagi ketika tercium bau tanah basah waktu hujan pertama turun. Ada perasaan damai yang tak terlukiskan. Barangkali saja pada kehidupan sebelumnya saya adalah seorang petani, dan sisa sisa kesadaran masa lalu itu kini muncul dalam bentuk kecintaan akan tanah.

Jika anda suka bercocok tanam, tentu pernah sesekali menemukan gulma yang tumbuh tanpa diundang. Kadang-kadang bahkan anda dapat menemukan tanaman baru tumbuh, benih tanaman tersebut terbawa oleh serangga, tikus, hujan atau sebab lain. Yang mengherankan, demikian mudahnya benih tersebut tumbuh, sementara sering saya menanam benih yang sama, tapi tidak pernah mau bertumbuh. Sering juga saya sangat menyukai sejenis tanaman, tapi tiap kali saya tanam selalu saja mati. Di saat lain sebuah pucuk tanaman yang patah, jatuh ke tanah malahan membesar jadi tanaman baru.

Sama halnya sebuah benih, kebajikan membutuhkan ladang yang tepat pula. Benih sebagus apapun jika di tanam di ladang yang tidak cocok akan sulit untuk tumbuh dengan sempurna. Tiap ladang hanya cocok untuk benih tertentu. Dan jika belum terbiasa, semakin kita ingin untuk berbuat kebajikan, semakin terasa sulit untuk melaksanakan. Sebaliknya jika kita telah terbiasa, bahkan dalam setiap tindakan yang tak kita sengaja, kita justru berbuat kebajikan.

Nah, berbicara tentang gulma, suatu ketika entah darimana datangnya, di kebun tumbuh sebentuk tanaman, belakangan saya tahu namanya, daun sendok. Mulanya untuk memenuhi keingintahuan saya, seperti apa bentuk tanaman tersebut, saya membiarkan tanaman kecil tersebut membesar. Tanaman kecil, seperti halnya bayi, memang tampak lucu. Sampai suatu ketika tanaman tersebut menjadi besar, berbunga kecil kecil, nyaris tak tampak, dan berbuah banyak, kecil pula, memenuhi tangkai, mirip kikir besi. Bentuknya sama sekali tidak indah menurut pengamatan saya. Karenanya saya memutuskan untuk membunuh tanaman tersebut. Sangat mudah, hanya sekali cabut, buang ke tempat sampah, beres sudah, demikian perkiraan saya. Tapi apa yang terjadi?

Setelah itu saya harus bepergian beberapa lama, dan ketika pulang saya melongok ke kebun, ternyata tanaman tersebut sudah merata di seluruh lahan. Rupanya, para biji kecil tersebut sudah menyebar sebelum saya buang, dan makin menyebar pada waktu saya membawanya ke tempat sampah. Sungguh mengerikan melihat daunnya yang bundar dan jelek menutupi tanaman kesukaan saya yang mahal lagi indah, yang kini nyaris tewas. Dengan segera saya bergegas melaksanakan sapu bersih. Tiada tempat bagi keburukan.
Sampai suatu hari, saya menderita radang tenggorokan yang hebat, bahkan obat yang diberikan dokterpun tidak mampu meredakan rasa sakitnya. Saya jadi teringat, bahwa daun sendok mampu meredakan sakit tersebut. Tapi apa daya, saya sudah membuang semua tanaman tersebut? Nyaris putus asa saya berjalan di kebun, sampai di sudut saya melihat sebatang tanaman itu masih ada, sudah besar dan berbunga. Dengan segera saya memetik beberapa lembar, membersihkan, merebus dan meminum airnya. Ajaib sekali, rasa panas di tenggorokan saya berangsur angsur berkurang dan membaik.

Sejak saat itu saya melihat keindahan bentuknya, daunnya yang lebar bundar, dengan bunga putih mungil, dan buahnya yang kecil dan lucu. Sejak saat itu saya selalu menyisakan sedikit ruang bagi kemungkinan adanya peluang kebaikan dalam hal hal yang tidak saya sukai. Dan kini kebun saya penuh berbagai tanaman, yang semuanya berbunga indah.

KIMSILA SUTTA - Perilaku yang Benar

Sariputta :
1. Orang dengan watak seperti apa, perilaku seperti apa, tindakan seperti apa, yang akan menjadi mantap sehingga mencapai kesejahteraan tertinggi?

Sang Buddha :
2. Dia adalah orang yang menghormat yang lebih tua; yang tidak iri hati, yang tahu saat yang tepat untuk menjumpai gurunya, yang tahu saat yang tepat untuk mendengarkan dengan penuh perhatian khotbah-khotbah yang dibabarkan dengan baik oleh gurunya itu.

3. Dia adalah orang yang menjumpai gurunya pada saat yang tepat; yang patuh, yang membuang kekeras-kepalaannya. Dia mengingat dan mempraktekkan ajaran, memiliki pengendalian diri dan moralitas.

4. Dia adalah orang yang bergembira dan bersuka cita dalam Dhamma dan yang mantap didalamnya; dia tidak berbicara bertentangan dengan Dhamma; dia tidak melakukan pembicaraan yang tidak bermanfaat, dia melewatkan waktunya dengan kata-kata yang benar, yang diucapkan dengan baik.

5. Setelah meninggalkan tawa, gosip, keluh kesah, niat buruk, penipuan, kemunafikan, ketamakan, kedengkian, temperamen buruk, ketidakmurnian dan kemelekatan, dia hidup bebas dari kesombongan, dengan pikiran yang mantap.

6. Intisari dari kata-kata yang diucapkan dengan baik adalah pemahaman. Intisari belajar dan memahami adalah konsentrasi. Kebijaksanaan dan pengetahuan orang yang terburu-buru dan sembrono tidak akan bertambah.

7. Mereka yang bergembira dalam ajaran yang diberikan oleh Orang-orang Suci memiliki keunikan dalam ucapan, pikiran dan tindakan. Mereka mantap dalam kedamaian, kelembutan dan meditasi, serta memperoleh intisari ajaran dan kebijaksanaan.

Sumber: Sutta-Nipata

Rumah

Seorang tukang kayu tua bermaksud pensiun dari pekerjaannya di sebuah perusahaan konstruksi real estate. Ia menyampaikan keinginannya tersebut pada pemilik perusahaan. Tentu saja, karena tak bekerja, ia akan kehilangan penghasilan bulanannya, tetapi keputusan itu sudah bulat. Ia merasa lelah. Ia ingin beristirahat dan menikmati sisa hari tuanya dengan penuh kedamaian bersama istri dan keluarganya.

Pemilik perusahaan merasa sedih kehilangan salah seorang pekerja terbaiknya. Ia lalu meminta tukang kayu tersebut untuk membuatkan sebuah rumah untuk dirinya. Walaupun merasa terpaksa, tukang kayu mengangguk menyetujui permohonan pribadi pemilik perusahaan. Ia ingin segera berhenti. Pikirannya tidak sepenuhnya dicurahkan, dengan ogah-ogahan dikerjakannya proyek itu.

Akhirnya selesailah rumah yang diminta. Hasilnya bukanlah sebuah rumah baik. Sungguh sayang, ia harus mengakhiri kariernya dengan prestasi yang tidak begitu mengagumkan. Pemilik perusahaan datang untuk melihat rumah yang dimintanya dan menyerahkan sebuah kunci rumah pada si tukang kayu. "Rumah ini adalah milikmu," kata sang pemilik perusahaan. "Hadiah dari saya sebagai penghargaan atas pengabdianmu selama ini."
Betapa terkejutnya si tukang kayu. Betapa malu dan menyesalnya. Seandainya saja ia tahu bahwa sesungguhnya ia mengerjakan rumah untuk dirinya sendiri, ia tentu akan mengerjakannya dengan cara yang lain sama sekali. Kini ia harus tinggal di sebuah rumah yang tak terlalu bagus, hasil karyanya sendiri.

Itulah yang terjadi pada kehidupan kita. Kadangkala, banyak dari kita yang lebih memilih membangun kehidupan dengan usaha yang ala kadarnya ketimbang mengupayakan yang terbaik. Bahkan, pada bagian-bagian terpenting dalam hidup, kita tidak memberikan yang terbaik. Pada akhir perjalanan, kita terkejut saat melihat apa yang telah kita lakukan dan menemukan diri kita hidup di dalam sebuah rumah yang kita ciptakan sendiri. Seandainya kita sadar, sejak semula kita akan menjalani hidup ini dengan cara yang jauh berbeda.
Renungkan bahwa kita adalah si tukang kayu. Renungkan rumah yang sedang kita bangun. Setiap hari kita memukul paku, memasang papan, mendirikan dinding dan atap.

Mari kita selesaikan rumah kita dengan sebaik-baiknya seolah-olah hanya mengerjakannya sekali saja dalam seumur hidup. Hidup kita esok adalah akibat sikap dan pilihan yang kita perbuat hari ini. Hidup adalah proyek yang kita kerjakan sendiri.

Ini Pun Akan Berlalu

Seorang petani kaya mati meninggalkan kedua putranya. Sepeninggal ayahnya, kedua putra ini hidup bersama dalam satu rumah. Sampai suatu hari mereka bertengkar dan memutuskan untuk berpisah dan membagi dua harta warisan ayahnya.
Setelah harta terbagi, masih tertingal satu kotak yang selama ini disembunyikan oleh ayah mereka. Mereka membuka kotak itu dan menemukan dua buah cincin di dalamnya, yang satu terbuat dari emas bertahtakan berlian dan yang satu terbuat dari perunggu murah.

Melihat cincin berlian itu, timbullah keserakahan sang kakak, dia berkata, "Kurasa cincin ini bukan milik ayah, namun warisan turun-temurun dari nenek moyang kita. Oleh karena itu, kita harus menjaganya untuk anak-cucu kita. Sebagai saudara tua, aku akan menyimpan yang emas dan kamu simpan yang perunggu."

Sang adik tersenyum dan berkata, "Baiklah, ambil saja yang emas, aku ambil yang perunggu." Keduanya mengenakan cincin tersebut di jari masing-masing dan berpisah.
Sang adik merenung, "Tidak aneh kalau ayah menyimpan cincin berlian yang mahal itu, tetapi kenapa ayah menyimpan cincin perunggu murahan ini?" Dia mencermati cincinnya dan menemukan sebuah kalimat terukir di cincin itu: INI PUN AKAN BERLALU. "Oh, rupanya ini mantra ayah…," gumamnya sembari kembali mengenakan cincin tersebut.
Kakak-beradik tersebut mengalami jatuh-bangunnya kehidupan. Ketika panen berhasil, sang kakak berpesta-pora, bermabuk-mabukan, lupa daratan. Ketika panen gagal, dia menderita tekanan batin, tekanan darah tinggi, hutang sana-sini. Demikian terjadi dari waktu ke waktu, sampai akhirnya dia kehilangan keseimbangan batinnya, sulit tidur, dan mulai memakai obat-obatan penenang. Akhirnya dia terpaksa menjual cincin berliannya untuk membeli obat-obatan yang membuatnya ketagihan.

Sementara itu, ketika panen berhasil sang adik mensyukurinya, tetapi dia teringatkan oleh cincinnya: INI PUN AKAN BERLALU. Jadi dia pun tidak menjadi sombong dan lupa daratan. Ketika panen gagal, dia juga ingat bahwa: INI PUN AKAN BERLALU, jadi ia pun tidak larut dalam kesedihan. Hidupnya tetap saja naik-turun, kadang berhasil, kadang gagal dalam segala hal, namun dia tahu bahwa tiada yang kekal adanya. Semua yang datang, hanya akan berlalu. Dia tidak pernah kehilangan keseimbangan batinnya, dia hidup tenteram, hidup seimbang, hidup bahagia.

Kedamaian

Ada dua orang biarawan yang sudah hidup bersama selama empat puluh tahun dan tidak pernah sekalipun bertengkar. Suatu hari, seorang dari mereka berkata, "Tidakkah kau berpikir bahwa inilah saatnya kita bertengkar, paling tidak sekali saja?" Biarawan yang lainnya menyahut, "Bagus kalau begitu! Mari kita mulai! Apa yang harus kita pertengkarkan?"

"Bagaimana kalau sepotong roti ini?" kata biarawan pertama. "Baiklah, marilah kita bertengkar karena roti ini. Terus bagaimana kita melakukannya?" tanya biarawan yang kedua. Biarawan pertama lalu berkata, "Roti ini punyaku. Ini milikku semua." Biarawan yang kedua menjawab, "Kalau begitu, ambil saja."
Kedamaian tidak perlu dihancurkan oleh sebuah pertengkaran atau perdebatan. Hanya "ke-aku-an" lah yang menghancurkan kedamaian. Ketika kita mempunyai sikap melekat dan egois seperti itu, hati kita lambat laun akan semakin menjadi keras. Inilah musuh utama kedamaian, sebuah hati yang melekat, keras dan egois.

Titik Spidol Hitam di “Hati”

Sebelumnya saya tidak pernah berpikir untuk mengukur seberapa bersih hati saya. Namun saat mendengarkan ceramah di sebuah radio, hati saya tergugah untuk mencobanya. Dalam ceramah itu dinyatakan, hati itu ibarat kertas putih. Ia akan berubah menjadi hitam, jika setiap hari kita memberinya “titik hitam”, alias “dosa” yang kita perbuat.

Saya tergugah untuk mempraktekkannya langsung dalam kehidupan sehari-hari, dengan menggunakan alat Bantu kertas putih dan spidol hitam. Saya menggambar bentuk hati di kertas putih itu, yang saya ibaratkan sebagai hati saya. Mulanya saya merasa, ini akan menjadi sebuah percobaan yang mudah sekali.

Namun, setiap kali saya merasa berbuat “dosa”, rasanya beraaaat sekali untuk membubuhkan titik hitam di “hati” saya itu. Sebab, ternyata banyak sekali kejadian atau peristiwa yang membuat saya, mau tak mau, harus membubuhkan titik hitam. Mulai dari berbohong, bergosip, marah-marah, berkata jorok, berburuk sangka pada orang lain, dan banyak lagi.

Padahal, selama ini saya menganggap diri saya sebagai orang baik yang selalu berusaha tidak melakukan dosa besar dan tidak merugikan orang lain. Dengan mengukur kebersihan hati sendiri, meski lewat cara yang sangat sederhana seperti ini, saya jadi menyadari, ternyata hati saya belum cukup bersih untuk menyebut diri sebagai orang baik.

Beban

Pada saat memberikan kuliah tentang Manajemen Stress, Steven Covey mengangkat segelas air dan bertanya kepada para siswanya: "Seberapa berat menurut anda kira segelas air ini?" Para siswa menjawab mulai dari 200 gr sampai 500 gr.
"Ini bukanlah masalah berat absolutnya, tapi tergantung berapa lama anda memegangnya." kata Covey.


"Jika saya memegangnya selama 1 menit, tidak ada masalah. Jika saya memegangnya selama 1 jam, lengan kanan saya akan sakit. Dan jika saya memegangnya selama 1 hari penuh, mungkin anda harus memanggilkan ambulans untuk saya. Beratnya sebenarnya sama, tapi semakin lama saya memegangnya, maka bebannya akan semakin berat."
"Jika kita membawa beban kita terus menerus, lambat laun kita tidak akan mampu membawanya lagi. Beban itu akan meningkat beratnya." lanjut Covey. "Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut, istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi".


Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik, agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi. Apapun beban yang ada di pundak anda hari ini, coba tinggalkan sejenak jika bisa. Setelah beristirahat nanti dapat diambil lagi...Hidup ini singkat, jadi cobalah menikmatinya dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Hal terindah dan terbaik di dunia ini tak dapat dilihat, atau disentuh, tapi dapat dirasakan jauh di relung hati kita.

Kemelekatan Pada Penderitaan

Alkisah ada dua orang bhikkhu yang merupakan teman dekat selama hidup mereka. Setelah meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam sebuah tumpukan kotoran.
Sang dewa merasa kehilangan teman lamanya dan bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surganya, jadi dia mulai mencari-cari temannya di seluruh alam surga yang lain.

Temannya tidak ada di sana. Dengan kekuatan surgawinya, sang dewa mencari di dunia manusia, namun juga tidak dapat menemukannya. Pikirnya pastilah temanku tidak akan terlahir di alam hewan, tapi dia tetap mencarinya juga. Tetap tidak ketemu. Akhirnya sang dewa mencari ke dunia serangga dan binatang-binatang kecil, dan betapa terkejutnya…dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam sebuah tumpukan kotoran yang menjijikkan!

Ikatan persahabatan mereka begitu kuat sampai-sampai melewati batas satu kehidupan. Sang dewa merasa dia harus membebaskan sahabat lamanya ini dari kelahiran yang jelek ini, tidak perduli karma apa yang akan dihasilkannya.
Sang dewa lalu muncul di depan tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sang sahabat, "Hei, cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dulu sama-sama bhikkhu di kehidupan lampau dan kamu adalah sahabatku yang paling dekat. Sementara aku terlahir kembali di dunia surga yang menyenangkan, kamu terlahir di tumpukan kotoran sapi ini. Jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Mari, sahabat lama!"
"Tunggu dulu!" kata si cacing, "Apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia di sini, bersama kotoranku yang harum, nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak!"

"Kamu tidak mengerti!" kata sang dewa, dan dia menggambarkan betapa menyenangkan dan gembiranya berada di alam surga. "Apakah di sana ada kotoran?" tanya si cacing, langsung ke tujuan. "Tentu saja tidak ada!" jawab sang dewa. "Kalau begitu, aku tidak mau pergi!" jawab si cacing. Dan si cacing segera membenamkan dirinya ke tengah-tengah tumpukan kotoran tersebut.
Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, dia akan mengerti. Sang dewa lalu menahan nafas dan memasukkan tangannya ke dalam kotoran tersebut, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, ditariknya keluar. "Hei, jangan ganggu aku!" teriak si cacing. Dan si cacing kecil yang licin itu menggeliat dan bergerak-gerak sampai terlepas, lalu kembali masuk ke dalam tumpukan kotoran untuk bersembunyi.

Sang dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke dalam kotoran, ketemu dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Hampir dapat, tapi karena si cacing berlumuran lendir dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi dan kembali masuk ke dalam kotoran. Berkali-kali sang dewa mencoba menariknya keluar dan membebaskannya dari tumpukan kotoran yang menjijikkan tersebut, tetapi si cacing begitu melekatnya dengan tumpukan kotorannya sehingga selalu bisa menggeliat kembali!

Akhirnya, sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh di "tumpukan kotorannya yang menyenangkan".
Sebagian orang tampaknya memang tidak ingin bebas dari persoalan. Jika mereka tidak memiliki cukup problem yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron TV untuk bisa mengkhawatirkan problem tokoh fiksi di TV. Banyak juga yang merasa ketegangan membuat mereka lebih 'hidup'; beranggapan penderitaan sebagai hal yang nikmat. Mereka tidak ingin menjadi bahagia, karena mereka begitu melekat pada beban mereka.

Apel Panggang

Max berangkat dari New York dan sudah beberapa jam mengemudikan mobil dalam hujan. Kipas airnya bekerja tidak kenal lelah sementara ia melaju menuju Philadelphia untuk menghadiri suatu pertemuan bisnis. Menjelang tengah malam, Max merasa lapar dan berhenti di sebuah restoran di tepi jalan. Max duduk di depan meja counter, di samping seorang lelaki tua berbahu ringkih dengan pakaian compang-camping. Max merasa iba melihat orang itu, yang tampaknya telah begitu panjang menapaki kehidupannya.


"Cuacanya sedang jelek, ya?" kata Max, berusaha mengajak bercakap-cakap. Orang itu hanya menanggapi dengan gumaman tidak jelas. Lelaki tua itu tampaknya terlalu capek untuk meladeni bercakap-cakap. Max menghabiskan makanannya, dan sebelum pergi ia bertanya kepada pramusaji, "Berapa harga sebutir apel panggang?" "Dua setengah dolar," sahut wanita itu. "Ini," kata Max sambil menyerahkan uang tiga dolar. "Ini cukup untuk membayar harga apel itu, plus tip untukmu." Lalu ia menunjuk ke arah lelaki tua tadi dan berkata, "Tolong berikan apelnya pada orang itu. Bilang saja gratis." Si pramusaji tersenyum hangat pada Max dan berkata, "Baiklah." Setelah itu, Max keluar dari restoran tersebut.


Dalam perjalanan, Max memikirkan apa yang dilakukannya tadi. "Kenapa aku membelikan dia apel panggang?" pikirnya. "Kenapa bukan secangkir kopi saja?" Max merenungkan perbuatan yang tampaknya tidak logis ini. Ia berusaha mencari alasan yang masuk akal, dan akhirnya menarik kesimpulan, "Membelikan kopi bagi orang asing... memang bagus juga," pikirnya, "tapi tidak begitu istimewa, akan cepat dilupakan. Tapi apel panggang tadi mungkin bisa menyentakkan orang tua itu dari lamunannya, meski cuma sebentar, dan mungkin bahkan bisa membangkitkan semangatnya lagi." Max merasa puas dengan kesimpulannya dan meneruskan perjalanan di jalur panjang yang sempit itu.


Malam semakin larut dan Max berusaha keras untuk menahan kantuk. Ia bicara keras-keras pada kegelapan di luar, tapi sia-sia. Tubuhnya tidak bisa bertahan lagi, dan meski ia berusaha keras, rasa kantuk mengalahkannya. Ia berada di Interstate 295 ke arah selatan ketika sebuah truk raksasa menghantam sisi mobilnya, membuatnya terdorong keluar dari jalan. Kalau ini terjadi pada siang hari dan dalam keadaan cuaca yang berbeda, Max mungkin bisa menguasai laju mobilnya dan mempertahankannya agar tidak keluar dari jalan. Tapi sekarang mobilnya terputar dan terperosok ke selokan. Mulanya Max mengalami shock, namun beberapa saat kemudian kesadarannya hilang. Di malam gelap berhujan lebat itu, mobil-mobil lewat begitu saja. Tampaknya tidak ada yang melihat mobil yang tergeletak di tepi jalan itu.


Akhirnya, setelah beberapa waktu, seorang laki-laki muda yang sedang lewat melihat mobil Max. Ia berhenti dan mendekati mobil yang ringsek tersebut. Melihat keadaannya, ia tahu bahwa kalaupun ia bisa menghubungi 911, dalam cuaca yang seperti ini akan makan waktu lama sampai pihak berwenang bisa mengirimkan orang ke tempat ini. Karena rumahnya sangat dekat, si pria muda memutuskan untuk membawa pulang Max yang masih tidak sadarkan diri. Dari rumahnya, ia akan meminta bantuan.

Tidak lama setelah berada di rumah penolongnya, Max siuman. Ketika membuka mata, ia melihat wajah yang asing baginya. "Kecelakaan yang Anda alami benar-benar berat," kata si pria muda. "Susah sekali mengeluarkan Anda dari mobil itu dan membawa Anda kemari. Benar sobat, tadi Anda hampir mati di sana. Sekarang duduklah. Makan makanan yang dibuat istriku untuk Anda." Max memandang piring yang diletakkan di hadapannya. Di piring itu ada sebutir apel panggang yang masih segar.

Jadilah Pelukis Yang Baik

Alkisah ada seorang anak yang sangat pandai melukis, pada suatu hari di negaranya diadakan pertandingan melukis, anak ini ikut dalam pertandingan tersebut karena hadiahnya sangat besar, yaitu diangkat menjadi pejabat tinggi pemerintah.
Pada pertandingan itu, semua peserta ditugaskan melukis seekor ular, dengan kriteria penilaian lukisan harus semirip mungkin dengan ular dan secepat mungkin menyelesaikan lukisan. Maka pada hari pertandingan, si anak itu sudah hadir di lapangan pertandingan, siap dengan semua alat lukisnya.

Ketika aba-aba diberikan, semua peserta serentak mulai melukis. Tak lama kemudian si anak itu selesai melukis seekor ular yang sangat mirip, begitu hidup lukisannya. Si anak kemudian mendongakan kepalanya, dilihatnya semua peserta lain belum menyelesaikan tugas mereka, maka si anak kemudian menambahkan empat buah kaki di ular lukisannya,sehingga ularnya semakin garang, ditambahkannya tanduk di atas kepala ular, diberinya lidah api menyembur keluar dari mulut ular tersebut.

Ketika si anak menyerahkan lukisannya itu ke panitia penilai, semua peserta lain belum menyelesaikan tugas mereka. Sore hari itu juga pemenang pertandingan diumumkan, pemenangnya adalah anak dari desa lain yang melukis seekor ular kurus yang pucat dan terlihat lemas, sedangkan lukisan anak yang sangat pandai itu dinyatakan diskualifikasi walaupun dia adalah orang yang pertama menyelesaikan tugas. Panitia memutuskan lukisannya bukan ular,tetapi seekor naga.

Dalam kehidupan kita, sering sekali kita juga terjebak dalam kegiatan seperti anak itu, kita menambahkan hal hal yang kurang perlu dalam aktifitas dan pekerjaan kita sehingga kita tidak dapat meraih predikat juara. Kadang kita melontarkan kalimat yang menyakitkan orang lain, kadang kita mudah tersinggung, kadang kita terlalu bertele-tele ketika memberikan pendelegasian tugas atau pekerjaan, kadang kita dikurung dalam berbagai praduga, curiga dan kurang percaya, kadang emosi kita terbawa dalam pekerjaan, dan semua itu menyebabkan karya kita bukan lagi lukisan seekor ular, melainkan seekor naga yang menyemburkan api dalam mulutnya.

Debat Bisu

Alkisah pada jaman dahulu di Jepang terdapat tradisi debat antar bhiksu. Pada suatu ketika seorang bhiksu mendatangi sebuah vihara dan bermaksud untuk mengajak berdebat kepala vihara tersebut. Tetapi sayangnya, pada saat itu bhiksu kepala vihara sedang kurang sehat, beliau merasa kurang mampu untuk melayani tantangan tersebut. Kepala vihara ini bingung memikirkan siapa yang paling tepat mewakilinya berdebat, karena hampir semua murid beliau sedang dalam perjalanan keluar dan hanya menyisakan seorang bhiksu bermata satu yang kurang pandai. Sejenak kepala vihara merasa ragu apakah murid satu ini sanggup menghadapi perdebatan tersebut. Akhirnya beliau mendapatkan akal, debat kali ini akan dilangsungkan dengan bahasa isyarat, tepatnya debat tanpa mengeluarkan sepatah katapun.

Sang Kepala Vihara memanggil muridnya dan mengatakan rencana beliau. Sang murid menyanggupi permintaan Sang Guru untuk tidak mengucapkan sepatah katapun karena debat akan dilakukan dengan bertukar isyarat. Bhiksu tamu ternyata juga menyetujui aturan main debat yang diluar kebiasaan tersebut.

Demikianlah akhirnya mereka berdua menuju aula utama dan memulai acara "debat bisu" tersebut. Pada mulanya Sang Bhiksu tamu mengacungkan satu jarinya. Bhiksu bermata satu membalas dengan mengacungkan kedua jarinya yang berlanjut dengan acungan tiga jari oleh Bhiksu tamu. Bhiksu bermata satu segera mengepalkan tangannya dan anehnya Bhiksu tamu tersebut justru berlari keluar menuju kamar Sang Kepala Vihara serta menyatakan kekalahannya. Ia berkata, "Wah murid Anda yang bermata satu itu ternyata luar biasa pintar! Ia berhasil mengalahkan saya." Sang kepala vihara merasa tidak percaya dengan apa yang didengar dan meminta sang tamu untuk menceritakan keseluruhan jalannya debat.

Sang Bhiksu tamu menceritakan, "Pada mulanya saya acungkan satu jari yang artinya Buddha". Ia membalas saya dengan mengacungkan dua jari yang artinya "Buddha dan Dharma". Saya membalasnya lagi dengan mengacungkan tiga jari yang artinya "Buddha, Dharma dan Sangha". Dan ia membalasnya dengan mengepalkan tangannya yang artinya "Ketiganya adalah satu". Wah saya kehabisan ide dan menyerah." Segera Sang Bhiksu tamu pergi meninggalkan vihara tersebut.

Sesaat kemudian, sang murid bermata satu berlari masuk sambil berteriak marah, "Mana...mana Bhiksu yang kurang ajar itu?" Sang Guru menanyakan duduk perkaranya. Sang murid kemudian menceritakan alasan ia marah. "Bhiksu tamu itu sungguh tidak tahu diri. Belum apa-apa ia sudah mengacungkan satu jarinya dan mengatakan bahwa mata saya hanya satu. Saya masih bersabar dan mengacungkan dua jari saya yang artinya "Berbahagialah orang yang memiliki dua mata ". Eh, ternyata dia masih tidak tahu diri dengan mengatakan bahwa "Jumlah mata kita adalah tiga", karena itu saya bermaksud meninjunya dan ia lari keluar.”

Kisah yang diambil dari kisah klasik Ch'an atau Zen ini memiliki makna bahwa sesuatu yang "netral" dapat diartikan beraneka ragam oleh pikiran masing-masing individu. Makna sejati dari kisah ini adalah untuk menunjukkan mengenai prinsip kesunyataan (kekosongan), segala sesuatu adalah sesungguhnya terbebas dari "ciri-ciri" yaitu konsep-konsep atau kesan yang dibuat oleh manusia sendiri.

Sumber: Sinar Dharma edisi-02 : Asadha 2547/2003, h 5

Mencari Buddha

Seorang bhiksu pertapa demi mencari Buddha yang berada di dalam hatinya berkelana ke sana-sini, sudah banyak sekali penderitaan yang dialaminya di dunia ini, tetapi dia tetap belum bisa mendapatkan Buddha yang berada dalam hatinya. Suatu malam hari yang gelap gulita, bhiksu pertapa setelah berjalan jauh mencari Buddha, tibalah di suatu desa yang sepi dan terpencil.

Di jalanan yang gelap gulita, penduduk desa dengan diam-diam berlalu lalang. Waktu bhiksu pertapa berputar melewati sebuah gang, dari kejauhan dia melihat ada satu lingkaran cahaya lampu yang mendekat ke arahnya. Dia mendengar ada salah satu penduduk desa berkata, "Si buta sudah datang kemari." Si bhiksu sangat terkejut mendengarkannya, lalu bertanya pada penduduk desa itu: "Yang memikul lampion dengan tongkat itu apakah betul seorang tunanetra?"

"Dia memang seorang tunanetra." Orang itu dengan pasti memberitahunya. Bhiksu pertapa bagaimanapun tidak habis pikir. Seorang tunanetra yang tidak bisa melihat, konsep siang dan malam sedikitpun tidak ada, membawa lampu tapi dia sendiri tidak melihat jalan, bahkan tidak tahu sinar lampu itu berupa apa, ia memikul sebuah lampion, apakah tidak membuat orang bingung dan merasa lucu? Lampion itu makin mendekat, lingkaran cahaya lampu dari gang yang jauh perlahan-lahan sampai di depan bhiksu.
Bhiksu yang masih bingung dan tak habis pikir itu, tidak dapat menahan diri lantas bertanya, "Maaf, sebelumnya, saya mau bertanya penderma apakah benar seorang tuna netra?" Si tunanetra yang memikul lampion itu menjawabnya, "Benar, sejak memasuki dunia ini, sepasang mata saya selalu dalam keadaan kekacaubalauan."

Bhiksu bertanya, "Jika apapun tidak kelihatan, mengapa anda membawa sebuah lampion?" Si tunanetra berkata, "Apakah sekarang malam hari? Saya dengar tidak ada penerangan pada malam hari, jadi orang-orang menjadi buta seperti saya, maka itu saya menyalakan sebuah lampion".
Seperti ada yang disadari oleh bhiksu lalu berkata: "Jadi anda memberi penyinaran untuk orang lain?" Tapi si tunanetra malah menjawab, "Tidak, ini demi saya sendiri." “Demi anda sendiri?” Si bhiksu sekali lagi melongo.

Si tunanetra balik bertanya pada bhiksu dengan nada rendah, "Apakah Anda pernah, karena malam hari gelap gulita ditabrak oleh orang lain?"
Bhiksu itu bilang, "Iya, ini adalah hal yang sering terjadi. Seperti tadi, ditabrak oleh dua orang yang kurang hati-hati." Si tunanetra mendengar, lalu bangga dengan dirinya dan berkata: "Tapi saya tidak pernah. Meskipun saya tunanetra, tapi dengan membawa lampion ini, orang lain melihat saya, dengan begitu mereka tidak akan karena gelap tidak lantas menabrak saya."

Mendengar hal itu, Bhiksu pertapa sadar. Dia menengadah ke langit menghembuskan nafas panjang-panjang sambil berkata, "Saya dari ujung langit sampai ke penjuru laut mencari Buddha, tidak disangka Buddha sudah berada di dalam diriku, sifat kebuddhaan manusia bagaikan sebuah lampu, asalkan saya menyalakannya, meskipun saya tidak melihat Buddha, tapi Buddha tetap melihat saya. Memang benar, setiap orang yang baik budi mempunyai kewajiban menyalakan lampu kehidupan yang dimilikinya, selain menerangi orang lain, lebih-lebih telah menerangi diri sendiri.”
Di saat seseorang memberi toleransi dan cinta kepada orang lain, bersamaan itu dia juga bisa mendapatkan toleransi dan cinta.

Ruang Penuh Cahaya

Seorang ayah, kebetulan pengusaha kaya multi-usaha, menghadapi soal yang amat pelik. Siapakah yang harus dipilih menggantikan dirinya memimpin kerajaan bisnisnya yang sudah dibangun susah payah lebih dari setengah abad? Kini usianya sudah kepala tujuh dan penyakit-penyakit tua sudah mulai menggerogoti dirinya. Ia tahu sebentar lagi dirinya akan mengikuti jejak nenek-moyangnya menuju lorong hidup manusia fana.

Anaknya tiga orang. Si sulung amat cerdas, meraih beberapa gelar sarjana dari luar negeri, ia berselera tinggi, canggih, glamour, ambisius, dan punya pergaulan yang luas di kalangan jetset. Cuma si ayah cukup khawatir karena si sulung ini gemar berjudi gede dan niat curangnya pun cukup kuat. Singkatnya, ia cerdas, kreatif, namun licik dan licin.

Si tengah, lebih hebat lagi. Bergelar Doktor bidang kimia dari universitas beken di Amerika, lulus dengan predikat amat sangat memuaskan. Tulisan-tulisan ilmiahnya bertebaran di jurnal-jurnal internasional. Bangga sekali hati si ayah yang cuma lulus SMP zaman Jepang. Dia dosen dan peneliti. Dan di perusahaan ayahnya dia menjabat sebagai Direktur Riset dan Pengembangan. Tetapi untuk menjadi pemimpin perusahaan, ia terlalu akademis, kurang cocok dengan bisnis mereka yang kini berspektrum sangat lebar.

Si bungsu, satu-satunya perempuan, cuma lulusan sebuah universitas dalam negeri. Meskipun sejak lima tahun terakhir ia bergabung dengan usaha ayahnya sebagai Direktur, tetapi ia memulai karirnya di perusahaan asing sebagai wiraniaga. Ia merangkak dari bawah hingga 15 tahun kemudian bisa mencapai posisi General Manager. Otaknya kalah brilian dibanding kedua kakaknya. Meskipun cenderung hemat berkata-kata, namun ia menunjukkan bakat memimpin yang baik. Ia mampu mendengar dengan intens. Berbagai pendapat dan gagasan bisa diolahnya dengan dalam. Gaya hidupnya biasa saja. Ia disenangi sekaligus disegani orang karena sikapnya yang fair, jujur, dan mampu merakyat dengan para bawahannya.

Nah, jika Anda adalah konsultan independen, siapakah pilihan Anda untuk menggantikan sang pemimpin perusahaan? Saya yakin, sebagian besar Anda akan menominasikan si bungsu. Dan si ayah juga demikian. Masalah ini menjadi pelik, karena menurut adat-istiadat, si sulunglah pewaris takhta. Dan, ia sangat berambisi untuk itu. Sedang si bungsu, selain anak terkecil, perempuan lagi. Jadi ia kalah status, gelar dan gender.

Bagaimana jalan keluarnya? Konsultan angkat tangan. Rujukan buku teks tidak ada. Sang patriarch akhirnya hanya bisa mengandalkan wibawa dan hikmatnya sebagai ayah.
Lalu dipanggilnya ketiga anaknya. Dibentangkannya persoalan secara gamblang. Diuraikannya plus-minus setiap anaknya. Dianalisisnya kemungkinan sukses masing-masing memimpin grup usaha itu menuju milenium ketiga. Dialog pun dimulai. Dan si ayah segera maklum, keputusan sulit diambil. "Sudahlah, aku akan memutuskan sendiri siapa penggantiku," kata orangtua itu akhirnya. Ketiganya takzim menurut. Seminggu kemudian, si ayah datang dengan sebuah ujian. "Barangsiapa bisa mengisi ruang ini sepenuh-penuhnya, maka dialah penggantiku," katanya sambil menunjuk ruang rapat yang cuma terisi empat kursi dan sebuah meja bundar. "Budget maksimum Rp 1juta," tambahnya lagi.

Kesempatan pertama jatuh pada si sulung. Enteng, pikirnya. Besoknya, dipenuhinya ruangan itu dengan cacahan kertas berkarung-karung. Dan memang ruangan itu menjadi padat. "Bagus, besok giliranmu," kata si ayah kepada anak keduanya. Dua puluh empat jam kemudian, ruangan itu pun dipenuhinya dengan butiran Styrofoam yang diperolehnya dengan menghancurkan bekas-bekas packaging." Oke, besok giliranmu," kata sang patriarch menunjuk putrinya.

Esoknya, ketika acara inspeksi dimulai, ternyata ruangan masih kosong. "Lho, kok kosong?" tanya ketiganya hampir serempak. Sang putri diam saja. Dimatikannya saklar lampu. Dari sakunya dia keluarkan sebatang lilin. Ditaruhnya di atas meja. Lalu disulutnya dengan sebatang korek api. "Lihat, ruangan ini penuh dengan terang. Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong tak tersinari," katanya kalem.
Tak terbantah siapa pun, dia dinyatakan menang dan sang putri pun berhak menduduki kursi tertinggi.

Kecerdasan akan lebih berarti jika diimbangi dengan kebijaksanaan

Bahagiakan Orang Tua Semasa Hidup

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu 6 tahun lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya. Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.
"Nggak usah, lain kali saja.!" jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.


Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah. Tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi, akhir minggu ini saya akan antar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja ya," katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian. "Nggak usah yah," bujuk saya saat makan malam. Ayah diam lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus." Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti ya, saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan kan dia!" Saya terus membisu.
Setibanya dikantor, sebelum istri saya turun, dia berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, Pa..belikan tiket buat ayah," katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pukul 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pukul 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun. Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya. Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampong seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus.
Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara.
Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Ayah sudah tiada," kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri saya segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?" Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.
Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini.

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi. Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

Brahmana Jataka - Kelahiran Sebagai Brahmana

Apakah yang mempertahankan orang baik di jalan kebajikan?
Yaitu rasa malu serta kesusilaannya.

Suatu ketika Bodhisattva mengambil kelahiran sebagai putra seorang brahmana mulia, sangat dihormati karena keturunan serta tingkah lakunya, sebuah keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat, mengendalikan dirinya serta menjalankan praktik. Ia menerima diksa sebagaimana umumnya, serta upacara penyucian yang diwajibkan, dan pada usianya yang telah pantas, ia dikirimkan agar tinggal bersama seorang guru untuk belajar, kelahirannya (kastanya) dan juga suri teladan tingkah lakunya.

Anak tersebut dengan segera mengerti apa yang diajarkan kepadanya, bertanggung jawab (yang sangat ditekankan oleh keluarganya), kelakuan baiknya serta tingkah lakunya yang tenang, semuanya sangat jarang menghiasi seorang pemuda, membuat gurunya memperlakukannya dengan lebih sayang serta senang. Singkatnya, jika kesaktian kebajikan dapat mempengaruhi bahkan mereka yang terbakar oleh api kebencian, apalagi terhadap mereka yang memang baik hati.
Gurunya, untuk menguji moralitas para siswanya, bermaksud mengeluhkan derita serta kemiskinan dirinya. Di saat jeda pelajaran suci ia mengeluh:

"Bagi orang yang tak memiliki sarana keluarga, tak punya kebahagiaan, bahkan di hari raya! Mengemis makanan membuatku lelah. Kemiskinan sungguh keadaan yang menakutkan dan tiada harapan adalah buahnya. Menjadi orang miskin sama halnya dengan menjadi orang buangan, lahir hanya untuk membanting tulang! Kemiskinan adalah keadaan yang lemah, tiada kegembiraan serta tiada habisnya kesusahan."

Seperti kuda yang berjingkat tertusuk duri, para siswanya begitu tersentuh oleh ucapan gurunya hingga mereka bersemangat mengumpulkan makanan lebih banyak dan lebih baik untuknya. Namun demikian hanya membuatnya kecewa saja, ia berkata: “Nak, tak usah,lakukan berbagai kesulitan itu. Sisa makanan yang dikumpulkan dari mengemis setiap hari tak akan dapat menghapuskan kesulitan kemiskinan. Bila kesulitanku telah menjadi beban bagimu, pusatkan usahamu untuk meningkatkan kekayaanmu! Itulah cara yang tepat dilakukan. Mengapa aku berkata seperti ini?
“Sebagaimana rasa lapar yang dihilangkan dengan makanan, rasa haus dengan air, sebagaimana rasa sakit disembuhkan dengan obat serta jampi-jampi yang sesuai,demikian pula halnya penyakit kemiskinan terhapus oleh harta kekayaan. Untuk menghapus kemiskinan, orang harus mendapatkan harta dengan cara bagaimanapun."

Siswanya menjawab: "Tapi apa yang dapat kita lakukan? Kita tak punya apa-apa. Jika harta seperti halnya makanan, yang dapat diperoleh dengan mengemis,kami tak akan membiarkanmu mengalami kemiskinan seperti ini. Tapi seperti yang kau tahu, brahmana hanya memperoleh harta dengan menerima pemberian, sementara orang-orang di sisi lain, jauh dari kemurahan hati. Sehingga kita tak berdaya dan penuh kesulitan."
Jawab gurunya: “Lihatlah ke dalam buku agama. Di sana terdapat cara lain bagi seorang brahmana untuk mendapatkan kekayaan! Sayangnya, aku tak sesuai untuk menjalankannya karena aku sudah tua dan juga tidak kuat."
"Bukankah kami masih muda dan kuat!" ujar mereka. "Bila engkau menganggap kami sesuai untuk menjalankan ajaran tersebut, katakana pada kami apa itu. Kami pasti akan membalas kebaikan ajaranmu!"

"Tidak!" jawab gurunya. "Cara untuk mendapatkan harta seperti itu sangat sulit bagi anak muda yang pikirannya kurang teguh. Tapi baiklah mengingat bahwa kalian dengan hormat mendesakku, untuk itu aku akan sekali saja membuka jalan itu.
"Dalam ajaran, dikatakan bahwa pada masa-masa sulit mencuri merupakan cara hidup yang diakui oleh brahmana. Dan kesulitan apa yang lebih besar dari kemiskinan di dunia ini? Lalu apa yang menghalangi kita dari menikmati harta orang lain? Sebenarnya, seluruh benda di dunia ini menjadi milik brahmana.

"Sekarang, meskipun kalian dengan tanpa ragu melihat harta seperti itu tergeletak, kalian harus ingat terhadap nama baik kalian, dan tidak mengambil benda apa pun dengan cara begitu saja. Gunakan kemahiranmu yang tak terlihat, di tempat yang sepi dan waktu yang lengang."

Ungkapan yang demikian memutuskan kendali para siswanya, yang seketika menganggap bahwa nasihat buruk tersebut seolah-olah baik, di mana mereka semua sangat bersemangat melakukan apa yang telah dianjurkan oleh gurunya. Semua siswa, kecuali Bodhisattva, di mana sifat baiknya tak membiarkannya menerima nasihat gurunya, meskipun itu telah diterima oleh siswa yang lain sebagai tugas.

Malu, dengan mata tertunduk, Bodhisattva tertegun diam. Gurunya, yang mengenali kebajikan murid mudanya yang begitu mulia, melihat bahwa Bodhisattva tak menerima ataupun berbicara menentang rencananya. Ia lalu berpikir dalam hatinya: "Mengapa ia melawan? Apakah ia kurang keberanian? Apakah karena ia tak memedulikanku, ataukah ia mengerti Dharma, dan tahu bahwa pencurian tersebut merupakan perbuatan jahat?"
Berharap dapat membuka isi hati anak itu, gurunya bertanya pada Bodhisattva: "Oh Brahmana Agung semua orang dwijati itu, tak sanggup melihat kemalanganku, berkehendak mengikuti jalan para pahlawan, bersemangat dan pemberani. Pada dirimu aku tak melihat apa pun kecuali kemalasan serta kelambanan. Jelas sekali bila dirimu sama sekali tak peduli pada kesulitanku. Bukankah penderitaanku nyata adanya? Apakah aku tak pernah mengutarakannya secara terbuka? Engkau hanya duduk di sini. Bagaimana bisa Engkau tak tersentuh oleh kesulitanku?"
Mendapat teguran, Bodhisattva dengan hormat membungkuk pada gurunya dan menjawab: "Mohon, jangan menganggapku demikian! Bukannya tak terpengaruh, ataupun karena keras hati yang membuatku diam; bukan pula tak tergerak oleh penderitaanmu. Namun tindakan yang Guru anjurkan tak dapat dilaksanakan. Kenapa tidak? Sungguh tak mungkin melakukan perbuatan jahat tanpa dilihat.
"Bagi pelaku kejahatan tak ada tempat yang disebut sepi: Di mana pun tak ada orang yang benar-benar sendirian. Bukankah mata dewa para makhluk agung, bukankah para Muni suci senantiasa melihat perbuatan kita? Tidak melihat mereka, orang bodoh melakukan perbuatan jahat, menyangka dirinya sendirian. Tetapi memahami hal ini, tak akan membuat hal seperti itu terjadi.

"Bahkan, di mana pun yang tak ada orang lain, kosongkah tempat itu dari diriku sendiri?Kesaksianku justru jauh lebih bisa dipercaya daripada siapa pun. Orang lain barangkali memang tidak melihatku, karena sibuk dengan urusan lain, tapi bila aku melakukan perbuatan salah, bersemangat menyerah pada kehendak keinginanku sendiri, apakah benar-benar tak tahu apa yang kulakukan itu? Karena alasan inilah aku tak mau mengikuti yang lain."

Mengetahui jika gurunya puas dengan jawabannya, Bodhisattva melanjutkan: "Aku tak akan meyakinkan diriku bahwa Engkau memperdayai kami dengan cara ini, semata-mata hanya untuk memperoleh harta. Barang siapa yang mengerti perbedaan antara kebajikan dan kejahatan, dapatkah tergoda oleh harta dengan membunuh kebajikan?
"Lebih baik memakai pakaian usang dan mengangkat mangkok pengemis, meskipun di tengah-tengah musuh kemewahan, daripada tanpa malu melawan ajaran, bahkan menjadi pemimpin bagi para dewa."

Dengan kata-kata tersebut, gurunya bangkit dari duduknya, sangat senang dan penuh kekaguman. Memeluk siswanya, lalu berkata: "Sangat bagus, kata-kata yang benar, Oh Brahmana Mulia! Kata-kata seperti itu tentulah muncul pada orang dengan kepandaian yang dihiasi oleh keseimbangan batin. Orang bodoh mungkin saja tergelincir dari kewajibannya, tergoda oleh berbagai macam hal. Tetapi orang yang baik tak akan pernah keliru, bahkan ketika mereka berada dalam kesulitan berat. Praktik pertapaan, belajar dan kebijaksanaan adalah kekayaan yang cukup bagi mereka.

"Sebagaimana bulan musim gugur menghiasi cakrawala, demikianlah dirimu menjadi perhiasan bagi keluargamu. Tingkah lakumu menunjukkan bahwa dirimu telah memahami makna kitab-kitab suci, dan tugasku adalah memberkati dengan berbagai keberhasilan."
Dari kisah ini kita dapat melihat bagaimana Mahasattva, mengikuti ketetapan hatinya, tak melanggar batas sikap baik. Untuk alasan ini, orang yang berhati mulia senantiasa dihiasi dengan kekuatan rasa malu serta kesusilaan. Arya Shravaka, terlindung dengan baik oleh benteng keteguhan hatinya, menghindari apa yang tidak baik dan memperkuat apa yang baik. Kisah ini juga mengacu pada kitab-kitab pujian pada adat istiadat serta kehormatan diri.

Sumber:

JATAKAMALA-Untaian Kelahiran Bodhisattva, Acharya Aryasura, BHUMISAMBHARA


Oleh diri sendiri kejahatan diperbuat. Karena diri sendiri seseorang menjadi ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tak diperbuat. Karena diri sendiri seseorang menjadi suci. Kesucian atau ketaksucian adalah milik masing-masing. Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain.