Saturday, February 28, 2009

Apel Panggang

Max berangkat dari New York dan sudah beberapa jam mengemudikan mobil dalam hujan. Kipas airnya bekerja tidak kenal lelah sementara ia melaju menuju Philadelphia untuk menghadiri suatu pertemuan bisnis. Menjelang tengah malam, Max merasa lapar dan berhenti di sebuah restoran di tepi jalan. Max duduk di depan meja counter, di samping seorang lelaki tua berbahu ringkih dengan pakaian compang-camping. Max merasa iba melihat orang itu, yang tampaknya telah begitu panjang menapaki kehidupannya.


"Cuacanya sedang jelek, ya?" kata Max, berusaha mengajak bercakap-cakap. Orang itu hanya menanggapi dengan gumaman tidak jelas. Lelaki tua itu tampaknya terlalu capek untuk meladeni bercakap-cakap. Max menghabiskan makanannya, dan sebelum pergi ia bertanya kepada pramusaji, "Berapa harga sebutir apel panggang?" "Dua setengah dolar," sahut wanita itu. "Ini," kata Max sambil menyerahkan uang tiga dolar. "Ini cukup untuk membayar harga apel itu, plus tip untukmu." Lalu ia menunjuk ke arah lelaki tua tadi dan berkata, "Tolong berikan apelnya pada orang itu. Bilang saja gratis." Si pramusaji tersenyum hangat pada Max dan berkata, "Baiklah." Setelah itu, Max keluar dari restoran tersebut.


Dalam perjalanan, Max memikirkan apa yang dilakukannya tadi. "Kenapa aku membelikan dia apel panggang?" pikirnya. "Kenapa bukan secangkir kopi saja?" Max merenungkan perbuatan yang tampaknya tidak logis ini. Ia berusaha mencari alasan yang masuk akal, dan akhirnya menarik kesimpulan, "Membelikan kopi bagi orang asing... memang bagus juga," pikirnya, "tapi tidak begitu istimewa, akan cepat dilupakan. Tapi apel panggang tadi mungkin bisa menyentakkan orang tua itu dari lamunannya, meski cuma sebentar, dan mungkin bahkan bisa membangkitkan semangatnya lagi." Max merasa puas dengan kesimpulannya dan meneruskan perjalanan di jalur panjang yang sempit itu.


Malam semakin larut dan Max berusaha keras untuk menahan kantuk. Ia bicara keras-keras pada kegelapan di luar, tapi sia-sia. Tubuhnya tidak bisa bertahan lagi, dan meski ia berusaha keras, rasa kantuk mengalahkannya. Ia berada di Interstate 295 ke arah selatan ketika sebuah truk raksasa menghantam sisi mobilnya, membuatnya terdorong keluar dari jalan. Kalau ini terjadi pada siang hari dan dalam keadaan cuaca yang berbeda, Max mungkin bisa menguasai laju mobilnya dan mempertahankannya agar tidak keluar dari jalan. Tapi sekarang mobilnya terputar dan terperosok ke selokan. Mulanya Max mengalami shock, namun beberapa saat kemudian kesadarannya hilang. Di malam gelap berhujan lebat itu, mobil-mobil lewat begitu saja. Tampaknya tidak ada yang melihat mobil yang tergeletak di tepi jalan itu.


Akhirnya, setelah beberapa waktu, seorang laki-laki muda yang sedang lewat melihat mobil Max. Ia berhenti dan mendekati mobil yang ringsek tersebut. Melihat keadaannya, ia tahu bahwa kalaupun ia bisa menghubungi 911, dalam cuaca yang seperti ini akan makan waktu lama sampai pihak berwenang bisa mengirimkan orang ke tempat ini. Karena rumahnya sangat dekat, si pria muda memutuskan untuk membawa pulang Max yang masih tidak sadarkan diri. Dari rumahnya, ia akan meminta bantuan.

Tidak lama setelah berada di rumah penolongnya, Max siuman. Ketika membuka mata, ia melihat wajah yang asing baginya. "Kecelakaan yang Anda alami benar-benar berat," kata si pria muda. "Susah sekali mengeluarkan Anda dari mobil itu dan membawa Anda kemari. Benar sobat, tadi Anda hampir mati di sana. Sekarang duduklah. Makan makanan yang dibuat istriku untuk Anda." Max memandang piring yang diletakkan di hadapannya. Di piring itu ada sebutir apel panggang yang masih segar.

No comments:

Post a Comment