Saturday, February 28, 2009

Kemelekatan Pada Penderitaan

Alkisah ada dua orang bhikkhu yang merupakan teman dekat selama hidup mereka. Setelah meninggal, satu terlahir sebagai dewa di sebuah alam surga yang indah, sementara temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam sebuah tumpukan kotoran.
Sang dewa merasa kehilangan teman lamanya dan bertanya-tanya di manakah dia terlahir kembali. Dia tidak bisa menemukannya di alam surganya, jadi dia mulai mencari-cari temannya di seluruh alam surga yang lain.

Temannya tidak ada di sana. Dengan kekuatan surgawinya, sang dewa mencari di dunia manusia, namun juga tidak dapat menemukannya. Pikirnya pastilah temanku tidak akan terlahir di alam hewan, tapi dia tetap mencarinya juga. Tetap tidak ketemu. Akhirnya sang dewa mencari ke dunia serangga dan binatang-binatang kecil, dan betapa terkejutnya…dia menemukan temannya terlahir sebagai seekor cacing di dalam sebuah tumpukan kotoran yang menjijikkan!

Ikatan persahabatan mereka begitu kuat sampai-sampai melewati batas satu kehidupan. Sang dewa merasa dia harus membebaskan sahabat lamanya ini dari kelahiran yang jelek ini, tidak perduli karma apa yang akan dihasilkannya.
Sang dewa lalu muncul di depan tumpukan kotoran tersebut dan memanggil sang sahabat, "Hei, cacing! Apakah kamu ingat aku? Kita dulu sama-sama bhikkhu di kehidupan lampau dan kamu adalah sahabatku yang paling dekat. Sementara aku terlahir kembali di dunia surga yang menyenangkan, kamu terlahir di tumpukan kotoran sapi ini. Jangan khawatir, karena aku akan membawamu ke surga bersamaku. Mari, sahabat lama!"
"Tunggu dulu!" kata si cacing, "Apa sih hebatnya alam surga yang kamu ceritakan itu? Aku sangat bahagia di sini, bersama kotoranku yang harum, nikmat dan lezat ini. Terima kasih banyak!"

"Kamu tidak mengerti!" kata sang dewa, dan dia menggambarkan betapa menyenangkan dan gembiranya berada di alam surga. "Apakah di sana ada kotoran?" tanya si cacing, langsung ke tujuan. "Tentu saja tidak ada!" jawab sang dewa. "Kalau begitu, aku tidak mau pergi!" jawab si cacing. Dan si cacing segera membenamkan dirinya ke tengah-tengah tumpukan kotoran tersebut.
Sang dewa berpikir, mungkin kalau si cacing sudah melihat sendiri alam surga itu, dia akan mengerti. Sang dewa lalu menahan nafas dan memasukkan tangannya ke dalam kotoran tersebut, mencari-cari si cacing. Begitu ketemu, ditariknya keluar. "Hei, jangan ganggu aku!" teriak si cacing. Dan si cacing kecil yang licin itu menggeliat dan bergerak-gerak sampai terlepas, lalu kembali masuk ke dalam tumpukan kotoran untuk bersembunyi.

Sang dewa yang baik hati ini kembali merogohkan tangannya ke dalam kotoran, ketemu dan mencoba menariknya keluar sekali lagi. Hampir dapat, tapi karena si cacing berlumuran lendir dan terus menggeliat membebaskan diri, akhirnya terlepas lagi dan kembali masuk ke dalam kotoran. Berkali-kali sang dewa mencoba menariknya keluar dan membebaskannya dari tumpukan kotoran yang menjijikkan tersebut, tetapi si cacing begitu melekatnya dengan tumpukan kotorannya sehingga selalu bisa menggeliat kembali!

Akhirnya, sang dewa menyerah dan kembali ke surga, meninggalkan si cacing bodoh di "tumpukan kotorannya yang menyenangkan".
Sebagian orang tampaknya memang tidak ingin bebas dari persoalan. Jika mereka tidak memiliki cukup problem yang bisa dikhawatirkan, mereka akan menyetel sinetron TV untuk bisa mengkhawatirkan problem tokoh fiksi di TV. Banyak juga yang merasa ketegangan membuat mereka lebih 'hidup'; beranggapan penderitaan sebagai hal yang nikmat. Mereka tidak ingin menjadi bahagia, karena mereka begitu melekat pada beban mereka.

No comments:

Post a Comment