Saturday, February 28, 2009

Brahmana Jataka - Kelahiran Sebagai Brahmana

Apakah yang mempertahankan orang baik di jalan kebajikan?
Yaitu rasa malu serta kesusilaannya.

Suatu ketika Bodhisattva mengambil kelahiran sebagai putra seorang brahmana mulia, sangat dihormati karena keturunan serta tingkah lakunya, sebuah keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat, mengendalikan dirinya serta menjalankan praktik. Ia menerima diksa sebagaimana umumnya, serta upacara penyucian yang diwajibkan, dan pada usianya yang telah pantas, ia dikirimkan agar tinggal bersama seorang guru untuk belajar, kelahirannya (kastanya) dan juga suri teladan tingkah lakunya.

Anak tersebut dengan segera mengerti apa yang diajarkan kepadanya, bertanggung jawab (yang sangat ditekankan oleh keluarganya), kelakuan baiknya serta tingkah lakunya yang tenang, semuanya sangat jarang menghiasi seorang pemuda, membuat gurunya memperlakukannya dengan lebih sayang serta senang. Singkatnya, jika kesaktian kebajikan dapat mempengaruhi bahkan mereka yang terbakar oleh api kebencian, apalagi terhadap mereka yang memang baik hati.
Gurunya, untuk menguji moralitas para siswanya, bermaksud mengeluhkan derita serta kemiskinan dirinya. Di saat jeda pelajaran suci ia mengeluh:

"Bagi orang yang tak memiliki sarana keluarga, tak punya kebahagiaan, bahkan di hari raya! Mengemis makanan membuatku lelah. Kemiskinan sungguh keadaan yang menakutkan dan tiada harapan adalah buahnya. Menjadi orang miskin sama halnya dengan menjadi orang buangan, lahir hanya untuk membanting tulang! Kemiskinan adalah keadaan yang lemah, tiada kegembiraan serta tiada habisnya kesusahan."

Seperti kuda yang berjingkat tertusuk duri, para siswanya begitu tersentuh oleh ucapan gurunya hingga mereka bersemangat mengumpulkan makanan lebih banyak dan lebih baik untuknya. Namun demikian hanya membuatnya kecewa saja, ia berkata: “Nak, tak usah,lakukan berbagai kesulitan itu. Sisa makanan yang dikumpulkan dari mengemis setiap hari tak akan dapat menghapuskan kesulitan kemiskinan. Bila kesulitanku telah menjadi beban bagimu, pusatkan usahamu untuk meningkatkan kekayaanmu! Itulah cara yang tepat dilakukan. Mengapa aku berkata seperti ini?
“Sebagaimana rasa lapar yang dihilangkan dengan makanan, rasa haus dengan air, sebagaimana rasa sakit disembuhkan dengan obat serta jampi-jampi yang sesuai,demikian pula halnya penyakit kemiskinan terhapus oleh harta kekayaan. Untuk menghapus kemiskinan, orang harus mendapatkan harta dengan cara bagaimanapun."

Siswanya menjawab: "Tapi apa yang dapat kita lakukan? Kita tak punya apa-apa. Jika harta seperti halnya makanan, yang dapat diperoleh dengan mengemis,kami tak akan membiarkanmu mengalami kemiskinan seperti ini. Tapi seperti yang kau tahu, brahmana hanya memperoleh harta dengan menerima pemberian, sementara orang-orang di sisi lain, jauh dari kemurahan hati. Sehingga kita tak berdaya dan penuh kesulitan."
Jawab gurunya: “Lihatlah ke dalam buku agama. Di sana terdapat cara lain bagi seorang brahmana untuk mendapatkan kekayaan! Sayangnya, aku tak sesuai untuk menjalankannya karena aku sudah tua dan juga tidak kuat."
"Bukankah kami masih muda dan kuat!" ujar mereka. "Bila engkau menganggap kami sesuai untuk menjalankan ajaran tersebut, katakana pada kami apa itu. Kami pasti akan membalas kebaikan ajaranmu!"

"Tidak!" jawab gurunya. "Cara untuk mendapatkan harta seperti itu sangat sulit bagi anak muda yang pikirannya kurang teguh. Tapi baiklah mengingat bahwa kalian dengan hormat mendesakku, untuk itu aku akan sekali saja membuka jalan itu.
"Dalam ajaran, dikatakan bahwa pada masa-masa sulit mencuri merupakan cara hidup yang diakui oleh brahmana. Dan kesulitan apa yang lebih besar dari kemiskinan di dunia ini? Lalu apa yang menghalangi kita dari menikmati harta orang lain? Sebenarnya, seluruh benda di dunia ini menjadi milik brahmana.

"Sekarang, meskipun kalian dengan tanpa ragu melihat harta seperti itu tergeletak, kalian harus ingat terhadap nama baik kalian, dan tidak mengambil benda apa pun dengan cara begitu saja. Gunakan kemahiranmu yang tak terlihat, di tempat yang sepi dan waktu yang lengang."

Ungkapan yang demikian memutuskan kendali para siswanya, yang seketika menganggap bahwa nasihat buruk tersebut seolah-olah baik, di mana mereka semua sangat bersemangat melakukan apa yang telah dianjurkan oleh gurunya. Semua siswa, kecuali Bodhisattva, di mana sifat baiknya tak membiarkannya menerima nasihat gurunya, meskipun itu telah diterima oleh siswa yang lain sebagai tugas.

Malu, dengan mata tertunduk, Bodhisattva tertegun diam. Gurunya, yang mengenali kebajikan murid mudanya yang begitu mulia, melihat bahwa Bodhisattva tak menerima ataupun berbicara menentang rencananya. Ia lalu berpikir dalam hatinya: "Mengapa ia melawan? Apakah ia kurang keberanian? Apakah karena ia tak memedulikanku, ataukah ia mengerti Dharma, dan tahu bahwa pencurian tersebut merupakan perbuatan jahat?"
Berharap dapat membuka isi hati anak itu, gurunya bertanya pada Bodhisattva: "Oh Brahmana Agung semua orang dwijati itu, tak sanggup melihat kemalanganku, berkehendak mengikuti jalan para pahlawan, bersemangat dan pemberani. Pada dirimu aku tak melihat apa pun kecuali kemalasan serta kelambanan. Jelas sekali bila dirimu sama sekali tak peduli pada kesulitanku. Bukankah penderitaanku nyata adanya? Apakah aku tak pernah mengutarakannya secara terbuka? Engkau hanya duduk di sini. Bagaimana bisa Engkau tak tersentuh oleh kesulitanku?"
Mendapat teguran, Bodhisattva dengan hormat membungkuk pada gurunya dan menjawab: "Mohon, jangan menganggapku demikian! Bukannya tak terpengaruh, ataupun karena keras hati yang membuatku diam; bukan pula tak tergerak oleh penderitaanmu. Namun tindakan yang Guru anjurkan tak dapat dilaksanakan. Kenapa tidak? Sungguh tak mungkin melakukan perbuatan jahat tanpa dilihat.
"Bagi pelaku kejahatan tak ada tempat yang disebut sepi: Di mana pun tak ada orang yang benar-benar sendirian. Bukankah mata dewa para makhluk agung, bukankah para Muni suci senantiasa melihat perbuatan kita? Tidak melihat mereka, orang bodoh melakukan perbuatan jahat, menyangka dirinya sendirian. Tetapi memahami hal ini, tak akan membuat hal seperti itu terjadi.

"Bahkan, di mana pun yang tak ada orang lain, kosongkah tempat itu dari diriku sendiri?Kesaksianku justru jauh lebih bisa dipercaya daripada siapa pun. Orang lain barangkali memang tidak melihatku, karena sibuk dengan urusan lain, tapi bila aku melakukan perbuatan salah, bersemangat menyerah pada kehendak keinginanku sendiri, apakah benar-benar tak tahu apa yang kulakukan itu? Karena alasan inilah aku tak mau mengikuti yang lain."

Mengetahui jika gurunya puas dengan jawabannya, Bodhisattva melanjutkan: "Aku tak akan meyakinkan diriku bahwa Engkau memperdayai kami dengan cara ini, semata-mata hanya untuk memperoleh harta. Barang siapa yang mengerti perbedaan antara kebajikan dan kejahatan, dapatkah tergoda oleh harta dengan membunuh kebajikan?
"Lebih baik memakai pakaian usang dan mengangkat mangkok pengemis, meskipun di tengah-tengah musuh kemewahan, daripada tanpa malu melawan ajaran, bahkan menjadi pemimpin bagi para dewa."

Dengan kata-kata tersebut, gurunya bangkit dari duduknya, sangat senang dan penuh kekaguman. Memeluk siswanya, lalu berkata: "Sangat bagus, kata-kata yang benar, Oh Brahmana Mulia! Kata-kata seperti itu tentulah muncul pada orang dengan kepandaian yang dihiasi oleh keseimbangan batin. Orang bodoh mungkin saja tergelincir dari kewajibannya, tergoda oleh berbagai macam hal. Tetapi orang yang baik tak akan pernah keliru, bahkan ketika mereka berada dalam kesulitan berat. Praktik pertapaan, belajar dan kebijaksanaan adalah kekayaan yang cukup bagi mereka.

"Sebagaimana bulan musim gugur menghiasi cakrawala, demikianlah dirimu menjadi perhiasan bagi keluargamu. Tingkah lakumu menunjukkan bahwa dirimu telah memahami makna kitab-kitab suci, dan tugasku adalah memberkati dengan berbagai keberhasilan."
Dari kisah ini kita dapat melihat bagaimana Mahasattva, mengikuti ketetapan hatinya, tak melanggar batas sikap baik. Untuk alasan ini, orang yang berhati mulia senantiasa dihiasi dengan kekuatan rasa malu serta kesusilaan. Arya Shravaka, terlindung dengan baik oleh benteng keteguhan hatinya, menghindari apa yang tidak baik dan memperkuat apa yang baik. Kisah ini juga mengacu pada kitab-kitab pujian pada adat istiadat serta kehormatan diri.

Sumber:

JATAKAMALA-Untaian Kelahiran Bodhisattva, Acharya Aryasura, BHUMISAMBHARA


Oleh diri sendiri kejahatan diperbuat. Karena diri sendiri seseorang menjadi ternoda. Oleh diri sendiri kejahatan tak diperbuat. Karena diri sendiri seseorang menjadi suci. Kesucian atau ketaksucian adalah milik masing-masing. Tak seorang pun dapat menyucikan orang lain.

No comments:

Post a Comment